Kamis, 13 Januari 2011

HUKUM SHALAT YANG KHUSYU’

Dalam kitab Taudiihul Adillah ada seorang bertanya kepada K.H. Muhammad Syafi’i Hadzami ghafarallaahulah, bahwa dirinya saat mengerjakan shalat hatinya kemana-mana tidak menuju ingatan kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa. Sah atau tidakkah shalat saya itu ?
Beliau menjawab bahwa shalat itu ada faridhahnya dan ada pula fadhilahnya. Faridhah yang dimaksudkan adalah menyempur-nakan syarat dan rukun shalat, sehingga dengan melaksanakan faridhah maka tercapailah sahnya shalat. Artinya seorang telah dianggap menunaikan shalat, dan tidak usah mengulang shalat lagi, karena sudah gugur tuntutan kewajibannya. Adapun fadhilah-nya shalat adalah melaksanakan shalat dengan khusyu' dan khudhu'.
Dengan faridhah dapat dihasilkan shalat yang sah, tetapi dengan fadhilah dapat dihasilkan falah atau keberuntungan dari shalat. Sebagaimana firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa dalam QS. Al-Mukminun  ayat 1 - 2  artinya :
 ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.”
Tafsir Shawi, juz III, hal. 93, menafsirkan ayat tersebut artinya:  “Mereka yang khusyu' adalah pada dzahir dan batin. Khusyu' yang dzahir adalah berpegang teguh dengan adab-adab shalat, seperti tiada menoleh-noleh, bermain-main, dan mendahului imam, meletakkan tangan di pinggang, dan lain sebagainya. Dan khusyu’ yang batin ada­lah menghadirkan kebesaran Allah, dan tiada memikirkan urusan dunia.
Dapat diterangkan disini khusyu’ yang dzahir adalah pengertian khuysu’ itu sendiri dimana orang yang shalatnya khusyu’ dapat dilihat dan diketahui oleh orang lain yaitu tenang segala anggauta badan daripada gerakan-gerakan yang tak diperlukan kecuali gerakan shalat. Ali radhiyallaahu ‘anhu  mengatakan khusyu’ itu tidak berpaling kekanan dan kekiri; Amr bin Dinar rahmatullaah ‘alaih mengatakan tenang dan bagus kelakuan; Ibnu Sirrin rahmatullaah ‘alaih mengatakan tidak mengangkat pandangan dari tempat sujud; Ibnu Jubai rahmatullaah ‘alaih mengatakan tidak mengetahui orang di sebelah kanan dan kirinya; ‘Atha’ rahmatullaah ‘alaih mengatakan tiada mempermainkan tangan atau memegang anggota badan dalam shalat. Arti khusyu’ ini semuanya mungkin benar karena berasal dari pengalaman yang sulit dikemukakan. Namun yang pasti khusyu’ adalah kerja hati yang memberikan kondisi tertentu pada jiwa yang tampak  bekasnya pada anggota badan.
Sedangkan khusyu’ yang batin disebut juga khudhu’ adalah fikiran, hati dan jiwa terarah hanya kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa dalam setiap gerakan shalat dari takbir sampai salam. Pikiran tidak menerawang  kepada urusan dunia ataupun peker-jaan, sehingga terjadi kebersamaan antara ucapan dan gerakan.
Seseorang yang telah memenuhi syarat dan rukun shalat atau dikatakan faridhahnya sudah terpenuhi, menurut ahli fiqih telah sah shalatnya, walaupun tidak khusyu’ atau fadhilahnya tidak ter-penuhi. Akan tetapi shalat tanpa khusyu’ adalah suatu yang kosong dan akan membawa pada kerugian dan kekecewaan.
Syaikh Zakaria rahmatullaah ‘alaih menulis dalam “Fadhilah Shalat” bahwa hakekat shalat adalah seorang hamba sedang berdialog dengan Allah subhaanahuu wa ta’aalaa, yang tidak mungkin dilaksanakan dengan kelalaian. Selain ibadah shalat ada kemungkinan kita lalai dalam melaksanakannya. Misalnya zakat, hakekat zakat adalah mengeluarkan harta, walaupun hal ini bertentangan dengan keinginan hawa nafsu yang gemar mem-boroskan uang untuk kesenangan dunia. Demi­kian juga puasa yang menahan dari lapar, haus dan kenikmatan biologis, merupakan hal-hal yang penting untuk dapat mengalahkan hawa nafsu. Jika dilaksanakan dengan benar walaupun lalai, sedikitnya akan berpengaruh untuk menanggulangi kekuatan nafsu. Sedangkan shalat, mengandung dzikir dan tilawah al Quran. Jika shalat di-lakukan dengan lalai, maka munajat dan pembicaraan dengan Allah tidak akan jadi. Seumpama orang yang menderita sakit panas, maka ia akan mengigau dan segala isi hatinya akan terucap oleh mulutnya, walaupun tidak akan bermanfaat bagi dirinya dan juga bagi orang lain.
Allah subhaanahuu wa ta’aalaa mempunyai sebuah takaran untuk mengukur kualitas shalat fardhu, dimana pahala seseorang dalam shalat berbanding lurus dengan keikhlasan dan kekhusyu’an shalat yang dikerjakannya.
‘Ammar bin Yasir radhiyallaahu ‘anhu mendengar Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila seseorang selesai mengerjakan shalat dia mendapat sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga atau seperdua pahala shalatnya. (HR. Abu Daud)
Anas radhiyallaahu ‘anhu berkata, Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila seorang mengerjakan shalat pada waktu yang telah ditetapkan dengan wudhu’ yang sempurna, dengan perasaan rendah hati dan tawadhu’, dan berdiri, ruku’, dan sujud dilakukan dengan baik, maka shalat yang demikian itu akan berupa cahaya yang indah yang akan mendoakan orang itu dengan kata-kata "Semoga Allah memelihara engkau seperti engkau telah memelihara saya. "Sebaliknya, apabila seseorang tidak menjaga shalatnya dan tidak mengambil wudhu’ dengan sempurna dan berdiri, ruku’ dan sujudnya tidak dilakukan dengan tertib, maka shalatnya akan membuat wajahnya gelap dan buruk serta ia akan mengutuk orang itu dengan kata-kata: "Semoga Allah subhaanahuu wa ta’aalaa membinasakanmu sebagaimana kamu telah membinasakanku." Lalu shalatnya dilemparkan ke muka orang itu seperti kain buruk (HR. Thabrani)
Shalat yang dilakukan tidak khusyu’ dan khudhu’ maka shalat itu akan mengutuk. Mungkin inilah keadaan kita dan ummat Islam saat ini selalu menurun dari hari ke hari di seluruh dunia, dimana kehancuran datang dari setiap penjuru.
Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu berkata, Rasullullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Suatu hal yang mula-mula diangkat dari ummat ini adalah khusyu,' sehingga (tak seorangpun dalam suatu jama’ah) engkau lihat padanya lagi orang yang khusyu'.
Syaikh Jamil rahmatullaah ‘alaih berkata dengan ilmu membuat shalat jadi benar dan dzikir membuat shalat jadi indah dan nikmat. Sahb rahmatullaah ‘alaih berkata shalat khusyu' akan datang jika dalam diri kita mempunyai sifat zuhud pada dunia.
Syaikh Ihsan rahmatullaah ‘alaih berkata jika shalat ada sifat yakin, ikhlas, ilmu, dan dzikir, maka shalat memasuki tahap pertama hakekat yaitu akan mencegah perbuatan keji dan mungkar; jika shalat mencapai shalatnya Rasulullah dan para sahabat barulah hakekat shalat akan mampu menarik pertolongan Allah subhaanahuu wa ta’aalaa.
Walaupun kita belum bisa melaksanakan shalat dengan khu-syu’ dan khudu’ harus ada upaya untuk selalu memperbaikinya. Ada orang berpikir, "Karena tidak dapat melaksanakan shalat dengan sempurna, lebih baik jangan mengerjakan shalat." Ini pan-dangan yang keliru. Mengerjakan shalat walaupun tidak sempurna, jauh lebih baik dari pada meninggalkan shalat, karena mening-galkan shalat akan mendatangkan azab yang pedih dari Allah dan para Ulama berfatwa bahwa orang yang meninggalkan shalat de­ngan sengaja adalah kafir. (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi,  Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban)
Dalam kisah sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diterangkan bahwa sahabat Sa’ad bin Mu’adz radhiyallaahu ‘anhu terkenal dengan shalatnya yang khusyu’. Beliau katakan: "Jika sekali saja aku teringat sesuatu selain Allah dalam shalat maka batallah seluruh shalatku". Ketika Saad wafat dan dikuburkan, Rasulullah ikut menguburkan mayatnya dan berjalan sambil berjinjit. Rasulullah ditanya kenapa bagitu? Beliau menjawab : "Karena aku melihat banyak malaikat ikut menguburkan mayat Sa’ad sehingga aku takut menginjaknya. Allaahu akbar!!

2 komentar:

  1. ingin sekali sholat khusu tapi susah pemikiran saat sholat kemana2 ga tetap bantu aku ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cari aja pelajaran shalat dan terjemahannya, setiap bacaan shalat diartikan sedikit demi sedikit. Mungkin hari ini arti doa iftitah target tiga hari umpamanya. Setelah al fatehah berapa hari target hafal. Insya Allah akan mudah menggapai khusyu dan khudhu. Memang untuk mendapatkan kemuliaan nggak mudah, harus susah payah....dicoba dulu...terima kasih

      Hapus