Shalat merupakan sarana komunikasi seorang hamba atau manusia kepada Allah subhanahuu wa ta’aalaa. Komunikasi manusia yang bersifat lemah kepada Dzat yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Komunikasi manusia yang tak lepas dari kesalahan kepada Dzat yang Maha Suci dari segala kekurangan. Dengan komunikasi tersebut memberikan keyakinan bahwa Allah Maha Pencipta, Maha Besar, Maha Pemberi, Maha Kuasa, Maha Esa, Maha Sempurna, Dialah Rabbul 'aalamin, hanya kepadaNya Tempat Bergantung. Manusia yang tidak melakukan komunikasi kepada Tuhan, secara tidak langsung meniadakan kekuasaan, kesempurnaan, keagungan bahkan keberadaanNya, yang berarti sederajat kaum yang tak beriman.
Shalat akan membawa seseorang yang beriman kepada situasi kejiwaan yang khas. Situasi ini meresap kedalam dirinya sebagai suatu pengalaman akan kenyataan adanya Tuhan dan keMaha-besaranNya. Dalam keadaan yang intens pengalaman ini tiada terbatas pada hanya waktu shalat saja. Pengaruh pengalaman ini masih terasa beberapa waktu setelah shalat, namun sedikit demi sedikit intensitasnya makin menurun. Dalam situasi kejiwaan seperti ini pengalaman hidup sehari-hari dapat dihadapi dengan tenang. Kesusahan, ketakutan dan kekhawatiran direndam oleh situasi kejiwaan yang disebutkan oleh Allah subhanahuu wa ta’aalaa dalam surat al Baqarah ayat 38 artinya:"……Barangsiapa mengikuti petunjukKu, niscaya ia tiada akan takut dan tiada akan berduka cita."
Dengan shalat diharapkan kepercayaan dalam hati semakin kuat, sehingga membuahkan rasa kemerdekaan dan kebebasan jiwa terhindar dari perasaan takut, susah, gelisah dan khawatir dari pengaruh kekuatan, kehebatan, kebesaran benda-benda dan makhluk-makhluk di jagat raya ini. Karena itu perasaan hati hanya tunduk kepada Kebesaran dan kehebatan Allah subhanahuu wa ta’aalaa.
Supaya fungsi shalat seperti itu dapat kita capai, maka bacaan shalat yang dikerjakan harus dimengerti. Mampukah kita berkomu-nikasi dengan baik kepada Allah subhanahuu wa ta’aalaa tanpa mengerti makna bacaan shalat yang kita ucapkan? Bukankah mengerti dan memahami makna bacaan shalat sangat mempe-ngaruhi kekhusyu'an shalat seseorang. Barangkali tepatlah sitiran syair dibawah ini ditujukan kepada orang-orang yang tak mengerti bacaan shalat :
“Banyak orang shalat namun tak ada baginya dari shalatnya kecuali hanya melihat sajadah, turun dan bangkit. Engkau melihat dia berada diatas sajadah dalam keadaan berdiri (shalat), namun hatinya tertuju pada perniagaannya dipasar"
Allah subhanahuu wa ta’aalaa mengecam pada orang-orang yang shalat pada lahirnya saja, cuma gerakan kata semata dan meninggalkan makna komunikasi kepadaNya, yang menjadikan hati mereka menerawang/melantur kesana kemari. Allah subhana-huu wa ta’aalaa berfirman dalam QS Al-Ma’un 107 : 4-5 : “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”
Orang-orang yang mengerjakan shalat yang dinamai mushallin oleh Allah dikatakan celaka, karena mereka mengerjakan shalat, tetapi mereka melantur, menyimpang dari shalat yang sebenarnya. Seharusnya hati dan pikiran dibulatkan dan ditujukan hanya kepada Allah semata, yang mendatangkan rasa takut dan merasa akan kebesaran Allah subhanahuu wa ta’aalaa.
Perhatikan juga firman Allah dalam surat An-Nisaa: 43 :
”Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mende-kati (mengerjakan) shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengetahui (menyadari) apa-apa yang kalian katakan".
Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni rahimahullaah dalam kitabnya “Rowa’iul Bayaan” menerangkan bahwa ayat tersebut menunjukan "larangan mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk". Udzur mabuk ini dikarenakan ketidaktahuan (ketidaksa-daran) akan apa-apa yang diucapkannya.
Perkataan "sedang kamu dalam keadaan mabuk" menurut Wahab Munabbih radhiyallaahu ‘anhu, adalah mabuk dari apa saja, termasuk mabuk dunia, yang membuat hati melantur, hati lalai akan ucapan-ucapan dalam shalat. Dan perkataan "Sehingga kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan" memberi pengertian bahwa ketika kita shalat dituntut mengetahui, memahami dan menghayati ucapan-ucapan dalam shalat.
Ibnu Rajab al Hambali rahmatullah ‘alaih menulis dalam kitab “al-Khusyu’ fish shalaah” bahwa Ustman Abi ‘Aus rahmatullaah ‘alaih berkata : "Ada kabar yang sampai kepadaku, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam pernah shalat dengan bacaan nyaring, setelah selesai shalat beliau bersabda: "Apakah ada ayat yang saya tinggalkan dari surat yang saya baca ?" Para sahabat berkata : “Kami tak mengerti" Kemudian Ubay bin Ka’ab radhiyallaahu ‘anhu berkata: "Ya. benar ada, ayat ini dan ini". Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Mengapa masih ada kaum yang dibacakan kitab Allah, lalu tidak mengerti ayat-ayat yang tertinggal tidak dibaca? Sebab begitulah, maka kebesaran Allah dikeluarkan dari hati-hati kaum Bani Israil, badan-badannya menyaksikan sedang hati-hatinya kosong. Allah tidak akan menerima amal hamba, sehingga hatinya dan badannya bersama-sama menyaksikan."
Siti ‘Aisyah Radiyallaahu ‘anha menuturkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Apabila mengantuk salah seorang diantara kalian padahal dia (sedang atau akan) shalat maka hendaklah dia tidur sampai hilang kantuknya; karena sesungguhnya salah seorang diantara kalian apabila mengerjakan shalat sedang dia dalam keadaan mengantuk, dia tidak tahu barangkali dia akan minta ampun, padahal dia memaki diri sendiri.” (HR. Bukhari)
Hadist ini menunjukkan larangan mengerjakan shalat dalam keadaan mengantuk. Udzur disini karena tidak mengerti atau tidak menyadari apa-apa yang diucapkannya. Ketidakmengertian orang yang mengantuk tersurat pada kalimat:…..Dia tidak tahu barang-kali dia akan meminta ampun, padahal dia memaki dirinya sendiri.
Dari sini jelaslah bahwa orang yang mengerjakan shalat harus menyadari apa yang dibacanya. Kalau tidak shalat kita hanya sebuah gerak-gerik ucapan bibir tanpa mengerti, memahami atau menghayati, padahal semua lafadz itu adalah dialog suci kita dengan Allah subhanahuu wa ta’aalaa. Jadi mengerti, memahami dan menghayati ucapan shalat termasuk pintu pertama menuju terciptanya komunikasi manusia dengan Allah subhanahuu wa ta’aalaa.
As Sayyid Muhammad Alwi al Maliki rahmatullaah ‘alaih dalam “Kaifa Tushallii” menulis bahwa sebagai seorang muslim yang taat tentu ingin menyempurnakan shalatnya dengan beru-paya untuk mengerti dan memahami bacaan-bacaan shalat. Semua itu dengan niat untuk memenuhi ketentuan Allah subhanahuu wa ta’aalaa dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ungkapan berikut mungkin menyadarkan untuk segera mengerti dan memahami arti bacaan seluruh bacaan shalat yang kita baca. :
"Tidak mengerti dan tidak memahami arti bacaan shalat barangkali sama dengan orang yang mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk atau mengantuk"
Dalam suatu riwayat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara tegas bersabda, bahwa shalat itu akan memperoleh hasilnya manakala kita mengerti, memahami dan menghayati apa-apa yang diucapkan di dalam shalat, karena bertindak begini berarti tidak melalaikan tugas hati dalam beribadat shalat.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Tidaklah dari seorang muslim yang berwudhu maka disempurnakannya wudhunya, kemudian ia berdiri dalam shalat-nya maka dimengertinya yang diucapkannya, melainkan setelah ia selesai shalat itu adalah seperti anak yang baru dilahirkan oleh ibunya (tidak berdosa)." (HR. Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar