Kamis, 13 Januari 2011

AKHLAK YANG BAIK SEBAGAI SIFAT ORANG YANG MENDIRIKAN SHALAT

Ada orang bertanya kepada Sayyid Hasan bin ‘Ali As-Saqqaf rahmatullaah ‘alaih ,"Bukankah Allah subhaanahuu wa ta’aalaa berfirman,”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS. Al-Ankabut 45), tetapi mengapa dalam kenyataannya, banyak Muslim yang biasa melaksanakan shalat tetapi dia juga melakukan perbuatan keji dan mung­kar. Mereka tidak banyak melakukan kebaikan, bahkan lebih suka melakukan kejahatan. Kita mendapatkan mereka sangat buruk dan kasar perkataannya, bahkan tidak sedikit pula yang suka berkata cabul. Perbuatan dan perilaku mereka sangat jahat. Pergaulan dengan saudara-saudaranya pun tidak sehat dan tidak baik. Mereka suka berbohong. Mereka juga tidak segan-segan untuk menipu, mema-nipulasi, dan melakukan korupsi. Mereka tidak menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak terpuji seperti istiqamah (tegak dalam kebenaran), tekun, dan ikhlas dalam perbuatannya. Kenapa demi-kian itu?
Sayyid Hasan bin ‘Ali As-Saqqaf rahmatullaah ‘alaih menjawab, mereka baru melaksanakan atau mengerjakan shalat, tetapi belum mendirikannya. Mereka belum mampu mendirikan salat dengan sahih dan benar sesuai dengan tata cara dan sifat-sifat shalat yang diajarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya yang mulia. Mereka belum memahami makna shalat yang sesungguhnya. Mereka juga belum memikirkan untuk mem-perbaiki atau menyempurnakan shalatnya. Mereka baru melaku-kan gerakan-gerakan shalat lahiriah atau badaniyah dengan meniru orang lain. Atau seperti yang dikenal sekarang, mereka baru mampu melakukan perbuatan rutin belaka. Bukankah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh seseorang untuk mengulangi shalatnya, padahal dia telah melakukan shalat. Sabdanya, "Kembalilah, sesungguhnya kamu belum melakukan shalat." (HR. Buhari, Muslim). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan menyuruh untuk mengulangi shalatnya sebanyak tiga kali.
Menurut hadits ini pada hakikatnya dia belum melakukan shalat. Shalatnya masih dinilai rusak dan oleh karenanya dia seakan-akan belum melakukan shalat. Padahal, orang yang ditegur dan disuruh mengulangi shalatnya itu adalah seorang sahabat yang mungkin ikhlas melakukan shalat atau ibadahnya itu, tetapi beliau masih menyuruh untuk mengulangi shalatnya. Menurut beliau, ibadah tidak cukup dengan jiwa ikhlas saja, tetapi memerlukan pengetahuan tentang tata caranya yang benar yang harus dipe-nuhi.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Rasulullah pernah ditanya oleh para sahabat mengenai firman Allah dalam QS. Al –Ankabut : 45, dan beliau menjawab ,”Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka tidak ada (nilai) shalat baginya.” Agar shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka shalat harus dilakukan dengan khusyu’ dan khudhu’ dan sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Jika kita melaksanakan shalat dengan memenuhi syarat dan rukunnya dan dapat memahami makna shalat dengan sebenarnya, maka Allah akan memasukkan ke dalam hatinya suatu rahasia (taufik). Dengan taufik itu, dia akan senang melakukan kebaikan dan akan segan melakukan kemungkaran atau kemaksiatan. Jika sudah demikian, maka shalat baginya otomatis menjadi sebab utama dalam mendorongnya untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk. Akhlaknya semakin bagus, keikhlasannyapun semakin tampak, sehingga cocoklah baginya firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa, ,”Sesungguhnya shalat itu mencegah (pelakunya) dari perbuatan keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) Allah itu lebih besar. Dan Allah itu mengetahui apa yang kamu (sekalian) kerjakan.” (QS. Al Ankabut 45)
Setiap Muslim yang selalu mendirikan shalat wajib menjadi manusia yang paling baik akhlaknya. Dalam bergaul dengan manusia, dia harus lemah lembut, penuh toleran, dan selalu tampil sebagai orang yang mempunyai sifat-sifat terpuji. Dengan demikian, ketika bergaul dengan orang lain dia bagaikan bunga mekar yang harum semerbak; indah, lembut, penyayang, serta tidak sombong atau tawadhu' (merendah). Bagaimanapun, sikap lemah lembut, lentur, elastis, dan bagus dalam berbicara adalah buah atau ciri dan tanda yang paling jelas dari akhlak yang baik. Sedangkan berbicara buruk dan suka mencela adalah buah atau ciri dan tanda yang paling jelas dari jeleknya perilaku atau akhlak seseorang. Maka, akhlak yang baik menuntut dan melahirkan jiwa pengasih yang lemah lembut dan harmonis. Sedangkan akhlak yang buruk mengakibatkan sikap saling membenci, saling men-dengki, dan saling membelakangi.
Tidak perlu diragukan lagi keutamaan dan kemuliaan akhlak yang baik. Akhlak yang baik wajib dimiliki setiap orang yang mengaku sebagai Mukmin dan Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Karena bagus akhlaklah, Nabi Muhammad shallal-laahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan pujian dan sanjungan dari Allah subhaanahuu wa ta’aalaa lewat firmanNya, “Dan sesung-guhnya kamu wahai Nabi mempunyai akhlak yang agung.”
Mengenai kepentingan dan kemuliaan akhlak itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam banyak mengungkapkan, antara lain, "Kebanyakan yang memasukkan seseorang ke dalam surga itu adalah ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik."(HR. Imam Tirmidzi , hadits sahih)
Usamah radiyallaahu ‘anhu berkata, "Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah pemberian yang paling baik yang diberikan kepada manusia?" Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Akhlak yang baik.”(HR. Ibnu Majah, hadits sahih)
Pada hadits lain disebutkan, "Aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak." (HR. Bukhari)  Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menegaskan. "Sesuatu yang paling berat untuk diletakkan dalam timbangan (amal) ialah akhlak yang baik." (HR.  Tirmidzi , hadits sahih)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dengan penuh kerendahan hati dan penuh kesungguhan, selalu bermohon kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa supaya dihiasi dengan akhlak mulia dan terpuji. Dalam suatu doa, misalnya, beliau berkata, "Ya Allah, perbaguslah badanku dan akhlakku." (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Hibban).
Pada kesempatan lain beliau berdoa, "Ya Allah, jauhkanlah aku dari akhlak yang buruk atau mungkar." (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban).
Sa'ad bin Hisyam radiyallaahu ‘anhu mengatakan, "Aku pernah mendalangi Siti Aisyah radiyallaahu ‘anhaa dan bertanya kepadanya tentang akhlak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dia menjawab, "Tidakkah engkau (pernah) membaca Alquran?" Saya menjawab, "Ya." "Akhlak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah Alquran," jawab Siti Aisyah radiyallaahu ‘anhaa.
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Siti Aisyah radiyallaahu ‘anhaa, "Hendaklah kamu berlemah lembut dan jauhilah olehmu sikap kasar (kejam) dan perkataan yang buruk atau jorok." (HR. Bukhari, Muslim).
Pada kesempatan lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah subhaanahuu wa ta’aalaa tidak suka kepada setiap orang yang kasar (keras hati) dan sombong, suka berteriak dengan keras di pasar, pandai dalam urusan keduniaan tetapi bodoh dalam urusan keakhiratan."(HR. Baihaqi, Ibnu Hibban, hadits sahih).
Dalam hadis lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, "Sesungguhnya Allah subhaanahuu wa ta’aalaa membenci orang yang suka melakukan perbuatan keji dan buruk akhlaknya." (HR. Ibnu Hibban, Thabrani, hadits sahih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar